Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Vaksin Covid-19: Perspektif Fiqih Islam (Bagian 1/2)

Vaksin Covid-19: Perspektif Fiqih Islam (Bagian 1/2)


Hukum Syara’ Seputar Vaksin

Oleh: K.H. M. Shiddiq al-Jawi, S.Si, M.Si.

FIKIH – Vaksinasi adalah proses memasukkan vaksin (bakteri/virus yang telah dilemahkan) ke dalam tubuh manusia untuk mendapatkan kekebalan terhadap penyakit tertentu.

Vaksinasi dapat disebut juga imunisasi, yaitu proses untuk mendapatkan kekebalan terhadap penyakit tertentu. Tetapi imunisasi lebih umum daripada vaksinasi karena imunisasi dapat juga diperoleh tanpa vaksinasi.

Misalnya, pemberian air susu ibu (ASI) oleh seorang ibu kepada bayinya yang dapat membantu meningkatkan kekebalan pada bayi. Jadi vaksinasi itu bagian dari imunisasi, sedang imunisasi belum tentu vaksinasi karena imunisasi banyak macamnya.
Vaksinasi adalah Sunah

Hukum vaksinasi secara syar’i adalah sunah (mandub/mustahab) karena termasuk dalam aktivitas berobat (at tadaawi /almudawah) yang hukum asalnya sunah. Asalkan memenuhi memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu:

Pertama, bahan vaksinnya tidak mengandung zat najis seperti enzim babi. Kedua, vaksinasi yang dilakukan tidak menimbulkan bahaya (dharar) bagi orang yang divaksinasi.

Mengenai sunahnya berobat, dalilnya adalah perintah berobat sebagaimana dalam sabda Rasulullah Saw.,

”Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obatnya, dan menjadikan obat bagi setiap penyakit. Maka berobatlah kamu dan janganlah kamu berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR Abu Dawud, no. 3376)

Tetapi perintah berobat ini bukan perintah wajib. Melainkan perintah sunah karena terdapat beberapa qarinah (petunjuk) dalam beberapa hadis yang menunjukkan berobat itu adalah anjuran (sunah), bukan kewajiban.

Di antaranya hadis Ibnu Abbas ra, ia berkata,

“Seorang wanita berkulit hitam pernah menemui Nabi Saw. sambil berkata, ‘Sesungguhnya aku menderita epilepsi dan auratku sering tersingkap [ketika sedang kambuh], maka berdoalah kepada Allah untukku.’”

Nabi Saw. bersabda,

“Jika kamu mau, bersabarlah maka bagimu surga, dan jika kamu mau, maka aku akan berdoa kepada Allah agar Allah menyembuhkanmu.” Wanita itu berkata, “Baiklah aku akan bersabar.” Wanita itu berkata lagi, “Namun berdoalah kepada Allah agar (auratku) tidak tersingkap.” Maka Nabi Saw. mendoakan untuknya.” (HR Bukhari)

Hadis ini menunjukkan bolehnya tidak berobat, sebagaimana taqrir (persetujuan) Nabi Saw. terhadap wanita tersebut yang memilih bersabar.

Jika perintah berobat di atas digabungkan dengan qarinah tersebut, diperoleh kesimpulan perintah berobat yang ada bukanlah perintah tegas (jazim), yaitu wajib. Melainkan perintah anjuran (ghairu jazim), yaitu sunah.

Inilah pendapat ulama Syafi’iyyah yang kami anggap rajih (lebih kuat) dalam masalah ini (hukum berobat). Berbeda dengan pendapat jumhur ulama, yaitu ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah yang mengatakan berobat itu hukumnya mubah (boleh). (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, XI/117)

Berdasarkan hukum sunahnya berobat inilah, maka vaksinasi dihukumi sunah. Karena vaksinasi termasuk dalam aktivitas berobat, khususnya pengobatan preventif (al thibb al wiqaa`iy) yaitu pengobatan sebagai pencegahan sebelum munculnya penyakit.

Sebagai catatan, hukum sunah tersebut adalah hukum asal berobat. Hukum sunah berobat dapat menjadi wajib jika seseorang yang memilih tidak berobat dapat terancam jiwanya.

Maka, tindakan memilih tidak berobat ini dapat digolongkan bunuh diri yang diharamkan (QS An Nisaa’: 29). Sehingga wajib hukumnya dihindari dengan melakukan pengobatan.

Hukum asal berobat yang sunah tadi, terdapat dua syarat:

Syarat pertama, bahan vaksinnya tidak mengandung zat najis. Karena telah terdapat larangan syariat untuk berobat dengan zat yang haram/najis. Meski larangan ini adalah larangan makruh, bukan larangan haram.

Sabda Nabi Saw., “Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obatnya, dan menjadikan obat bagi setiap penyakit. Maka berobatlah kamu dan janganlah kamu berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR Abu Dawud, no 3376).

Syarat Kedua, vaksinasi yang dilakukan tidak boleh menimbulkan bahaya (dharar) bagi orang yang divaksinasi, dikarenakan terdapat larangan untuk menimbukan bahaya (dharar) dalam segala bentuknya, sesuai hadis Nabi Saw., “Tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri maupun bahaya bagi orang lain.” (HR Ahmad).

Post a Comment for "Vaksin Covid-19: Perspektif Fiqih Islam (Bagian 1/2)"