Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kehidupan Umat Non-Muslim di dalam Wilayah Islam


KEHIDUPAN UMAT NON-MUSLIM DI DALAM WILAYAH ISLAM

Masih banyak orang yang menganggap bahwa penerapan hukum Islam atas non-Muslim hanya berujung pada kerusuhan, pertumpahan darah, dan perpecahan. Ada ketakutan di kalangan non-Muslim, seolah-olah hidup di bawah naungan hukum Islam akan menjadi awal kehancuran kehidupan mereka. Di Dunia Islam, ketakutan ini dimanfaatkan untuk menjustifikasi diambilnya langkah-langkah keras untuk menangani aktivis Muslim yang menyerukan penerapan hukum syariat dengan menegakkan Negara Khilafah.

Negara-negara Barat imperialis, bersama-sama dengan media dan para penguasa di Dunia Islam yang menjadi antek-antek mereka, dibarengi dengan pengawasan ketat terhadap para pengemban dakwah, memanfaatkan isu-isu seperti penerapan hukum syariat untuk mengolok-olok dan menyerang gagasan penerapan Islam. Mereka masih khawatir jika hukum syariat Islam diterapkan secara benar, hal ini akan melahirkan negara yang keadidayaannya tidak pernah tersaingi oleh negara manapun. Bersatunya begitu banyak orang, dengan latar belakang yang sangat beragam tidak pernah terjadi kecuali di era Khilafah.

Karena itu, kita paham, mengapa negara-negara Barat imperialis memiliki agenda untuk merusak citra Islam, (yaitu) supaya Islam tidak dipandang sebagai alternatif bagi ideologi Kapitalis. Untuk memperoleh gambaran yang jernih perihal nasib orang-orang non-Muslim dalam Negara Khilafah, harus dijelaskan kepada kaum Muslim maupun non Muslim, bagaimana Negara Khilafah memperlakukan orang-orang non Muslim yang ada di wilayah kekuasaan Negara Khilafah Islam. Ini diperlukan, agar kekhawatiran dan kesalahpahaman berbagai pihak bisa hilang dengan sendirinya, sekaligus dapat meng-counter berbagai tuduhan keji dari musuh-musuh Islam yang tidak suka dengan kembali diterapkannya syariat Islam.

Non-Muslim adalah Ahlu Dzimmah

Allah Swt menurunkan syariat Islam kepada Rasulullah saw sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, apapun warna kulit, agama, ras, dan segala latar belakang mereka.

Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. (TQS. al-Anbiya [21]: 107)

Jika kita kaji syariat dengan baik, maka kita akan melihat betapa syariat Islam telah memberikan panduan rinci bagaimana menangani urusan kaum Muslim, juga non-Muslim, yang hidup di bawah naungan Negara Khilafah. Penerapan syariat terhadap non-Muslim merupakan metode praktis dakwah Islam kepada non-Muslim. Adakah cara yang lebih baik bagi non-Muslim untuk melihat kebenaran Islam selain dengan hidup berdasarkan sistem Islam itu sendiri, dan mengalami kedamaian dan keadilan hukum Allah Swt?

Dalam hukum Islam, warganegara Khilafah yang non-Muslim disebut sebagai dzimmi. Istilah dzimmi berasal dari kata dzimmah, yang berarti “kewajiban untuk memenuhi perjanjian”. Islam menganggap semua orang yang tinggal di Negara Khilafah sebagai warganegara Negara Islam, dan mereka semua berhak memperoleh perlakuan yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi antara Muslim dan dzimmi. Negara harus menjaga dan melindungi keyakinan, kehormatan, akal, kehidupan, dan harta benda mereka.

Kedudukan ahlu dzimmah diterangkan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya:

“Barangsiapa membunuh seorang mu’ahid (kafir yang mendapatkan jaminan keamanan) tanpa alasan yang haq, maka ia tidak akan mencium wangi surga, bahkan dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekali pun”. (HR. Ahmad)

Imam Qarafi menyinggung masalah tanggung jawab negara terhadap ahlu dzimmah. Ia menyatakan, “Kaum Muslim memiliki tanggung jawab terhadap para ahlu dzimmah untuk menyantuni, memenuhi kebutuhan kaum miskin mereka, memberi makan mereka yang kelaparan, menyediakan pakaian, memperlakukan mereka dengan baik, bahkan memaafkan kesalahan mereka dalam kehidupan bertetangga, sekalipun kaum Muslim memang memiliki posisi yang lebih tinggi dari mereka. Umat Islam juga harus memberikan masukan-masukan pada mereka berkenaan dengan masalah yang mereka hadapi dan melindungi mereka dari siapa pun yang bermaksud menyakiti mereka, mencuri dari mereka, atau merampas hak-hak mereka.”

T.W. Arnold, dalam bukunya The Preaching of Islam, menuliskan bagaimana perlakuan yang diterima oleh non-Muslim yang hidup di bawah pemerintahan Daulah Utsmaniyah. Dia menyatakan, “Sekalipun jumlah orang Yunani lebih banyak dari jumlah orang Turki di berbagai provinsi Khilafah yang ada di bagian Eropa, toleransi keagamaan diberikan pada mereka, dan perlindungan jiwa dan harta yang mereka dapatkan membuat mereka mengakui kepemimpinan Sultan atas seluruh umat Kristen”.

Arnold kemudian menjelaskan; “Perlakuan pada warga Kristen oleh pemerintahan Ottoman -selama kurang lebih dua abad setelah penaklukkan Yunani- telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa. Kaum Kalvinis Hungaria dan Transilvania, serta negara Unitaris (kesatuan) yang kemudian menggantikan kedua negara tersebut juga lebih suka tunduk pada pemerintahan Turki daripada berada di bawah pemerintahan Hapsburg yang fanatik; kaum protestan Silesia pun sangat menghormati pemerintah Turki, dan bersedia membayar kemerdekaan mereka dengan tunduk pada hukum Islam… kaum Cossack yang merupakan penganut kepercayaan kuno dan selalu ditindas oleh Gereja Rusia, menghirup suasana toleransi dengan kaum Kristen di bawah pemerintahan Sultan.”

Kategori non-Muslim

Syariat Islam berlaku untuk semua ahlu dzimmah. Ahlu dzimmah mencakup seluruh mu’ahid (orang-orang yang terikat perjanjian dengan Negara Khilafah) dan musta’min (individu yang memasuki wilayah Negara Khilafah dengan ijin), selain dari para diplomat yang diperlakukan berdasarkan perjanjian bersama dengan negara lain.

Ada dua kategori ahlu dzimmah. Pertama adalah Ahli Kitab, dan kategori kedua adalah umat-umat agama lainnya. Ahli Kitab terdiri atas umat Yahudi dan Kristen. Syariat menyatakan bahwa umat Islam diperbolehkan memakan binatang-binatang sembelihan mereka, dan para lelaki Muslim diperbolehkan menikahi perempuan-perempuan Ahli Kitab. Sementara umat agama lainnya memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan Ahli Kitab, namun binatang sembelihan mereka tidak boleh dimakan oleh umat Islam, dan perempuan-perempuan mereka tidak boleh dinikahi oleh lelaki Muslim. Bukti untuk hal ini ialah:

Non-Muslim Berhak Menjalankan Agama dan Kepercayaan Mereka

Allah Swt menyatakan:

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). (TQS. al-Baqarah [2]: 256)

Ayat tersebut menyatakan bahwa Negara Islam tidak diperbolehkan memaksa orang-orang non-Islam untuk meninggalkan kepercayaan mereka. Namun umat non-Muslim harus menerima Islam bila telah meyakini akidah Islam secara intelektual. Ini terbukti melalui fakta bahwa hingga hari ini masih ada komunitas Yahudi dan Kristen yang tinggal di kawasan Timur Tengah walaupun Negara Islam telah berkuasa di kawasan tersebut selama 1300 tahun.

Kita melihat penerapan peraturan ini secara praktis selama masa pemerintahan Khilafah Utsmaniyah. T.W. Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam, menyatakan bahwa Uskup Agung Kristen dan Sinoda Agung bebas memutuskan segala hal yang berkenaan dengan keyakinan dan dogma tanpa menerima intervensi apapun dari negara. Hal ini justru tidak pernah terjadi pada masa pemerintahan para Kaisar Byzantium.

Non-Muslim Mengikuti Aturan Agama Mereka dalam Hal Makanan dan Pakaian

Dalam hal makanan dan pakaian, umat non-Muslim berhak mengikuti aturan agama mereka tentang tata kehidupan publik.

Mazhab Imam Abu Hanifah menyatakan: “Islam membolehkan ahlu dzimmah meminum minuman keras, memakan daging babi, dan menjalankan segala aturan agama mereka dalam wilayah yang diatur oleh syariat.”

Maka, selama hal tersebut dilakukan dalam kehidupan pribadi dan tidak dilakukan di tempat umum, Negara Islam tidak punya urusan untuk mengusik masalah-masalah pribadi mereka. Namun bila, misalnya seorang ahlu dzimmah membuka toko yang menjual minuman keras, maka dia akan dihukum berdasarkan aturan syariat Islam.

Urusan Pernikahan dan Perceraian Antar Non-Muslim Dilakukan Menurut Aturan Agama Mereka

Umat non-Islam diijinkan untuk saling menikah antar mereka berdasarkan keyakinannya. Mereka dapat dinikahkan di Gereja atau Sinagog oleh Pendeta atau Rabbi. Mereka juga dapat bercerai menurut aturan agama mereka.

Syariat membolehkan seorang lelaki Muslim untuk menikahi perempuan Ahli Kitab. Al-Qur’an menyatakan:

Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman, dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya, dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi. (TQS. al-Maidah [5]: 5 )

Dengan demikian, maka masalah pernikahan, perceraian, dan masalah-masalah keluarga lainnya, termasuk anak-anak, harus diurus berdasarkan syariat Islam.

Non-Muslim Wajib Mengikuti Syariat Islam dalam Masalah Hubungan Sosial Kemasyarakatan

Masalah lain dan aturan-aturan lain yang digariskan syariat Islam, seperti sistem sanksi, sistem peradilan, sistem pemerintahan, ekonomi, dan kebijakan luar negeri, diterapkan oleh Negara Islam pada semua orang secara sama, tanpa memandang Muslim atau non-Muslim.

Sistem Sanksi

Muslim dan non-Muslim wajib dikenakan hukuman karena kejahatan yang mereka lakukan berdasarkan hukum Islam. Beberapa contoh di bawah ini jelas menunjukkan hal tersebut.

Nabi Muhammad saw bersabda: “Demi Allah, jika Fatimah binti Muhammad mencuri, akan kupotong tangannya.”

Umar bin Khaththab ra menghukum puteranya sendiri ketika ia menjabat sebagai Khalifah.

Ibnu Umar meriwayatkan: “Dua orang Yahudi didakwa karena berzina dan dibawa ke hadapan Nabi saw, beliau kemudian memerintahkan agar mereka dirajam.”

Anas meriwayatkan: “Seorang Yahudi membunuh seorang gadis dengan batu, Rasulullah saw pun kemudian membunuhnya.”

Mazhab Imam Abu Hanifah menyatakan: “Bila seorang Muslim membunuh siapapun dari kalangan ahlu dzimmah, maka dia wajib dihukum dengan dibunuh pula, ini berlaku baik pada perempuan maupun lelaki.”

Sistem Peradilan

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (TQS. al-Maidah [5]: 8 )

Di mata hukum, tidak ada perbedaan antara non-Muslim dengan Muslim. Hakim (qadli) wajib mencermati pembuktian yang disyaratkan menurut syariat semata, bukan menurut aturan lain. Ada banyak contoh yang menunjukkan bagaimana non-Muslim dapat mengalahkan seorang Muslim di pengadilan.

Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, sejumlah Muslim menyerobot tanah yang dimiliki oleh seorang Yahudi dan mendirikan masjid di atas tanah tersebut. Ini jelas melanggar hak Yahudi tersebut sebagai ahlu dzimmah. Umar kemudian memerintahkan agar masjid tersebut dirubuhkan dan tanah tersebut dikembalikan pada orang Yahudi tersebut.

Dalam kasus lainnya, pada masa pemerintahan Imam Ali, seorang Yahudi mencuri baju zirah milik Khalifah. Ali kemudian mengadukan Yahudi tersebut ke pengadilan dan membawa puteranya sebagai saksi. Hakim menolak gugatan sang Khalifah, dan menyatakan bahwa seorang anak tidak dapat dijadikan saksi dalam perkara yang melibatkan ayahnya di pengadilan. Setelah menyaksikan keadilan tersebut, si Yahudi kemudian mengaku bahwa ia memang mencuri baju tersebut dan kemudian memeluk Islam.

Sistem Ekonomi

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk. (TQS. at Taubah [9]: 29)

Non-Muslim wajib membayar pungutan tahunan yang disebut jizyah. Sebagai balasannya, Negara Khilafah berkewajiban melindungi mereka. Ali menyatakan, “Dengan dibayarkannya jizyah, maka harta mereka sama nilainya dengan harta kita, dan darah mereka pun seperti darah kita.”

Jizyah diambil dari orang-orang dewasa yang sehat akalnya. Jizyah tidak dikenakan pada anak kecil, orang gila, atau wanita. Besaran jizyah tidak diatur secara pasti, namun diserahkan pada opini dan ijtihad Khalifah. Khalifah wajib mempertimbangkan aspek-aspek kesejahteraan dan kemiskinan, sehingga tidak memberatkan kaum dzimmi.

Rasulullah saw pernah mengangkat Abdullah bin Arqam untuk mengurusi masalah jizyah para ahlu dzimmah, dan kala beliau hendak beranjak pergi, Nabi saw memanggilnya kembali dan menyatakan, “Siapapun yang menindas seseorang yang terikat perjanjian (mu’ahid), atau membebaninya melebihi kemampuannya dan menyakitinya, atau mengambil apapun yang menjadi haknya tanpa keikhlasan darinya, maka aku akan menuntut orang (penindas) tersebut pada Hari Perhitungan.” (HR. Abu Dawud)

Sebagai contoh, jizyah pada masa Umar bin Khaththab adalah sebagai berikut:

* 4 dinar untuk golongan kaya

* 2 dinar untuk golongan menengah

* 1 dinar untuk golongan miskin

Pungutan ini tidak sama dengan pajak sebagaimana sistem perpajakan yang amat menindas saat ini. Secara finansial, kesejahteraan ahlu dzimmah terjaga di bawah Negara Islam, dan mereka pun berhak menggarap berbagai bisnis dan melakukan perdagangan.

Cecil Roth, dalam bukunya The House of Nasi: Dona Gracia, menyatakan bahwa perlakuan pada kaum Yahudi di bawah pemerintahan Ottoman telah menarik perhatian kaum Yahudi dari berbagai negeri Eropa Barat. Wilayah Islam pun menjadi lahan emas. Dokter-dokter Yahudi dari Akademi Salanca dipekerjakan untuk mengurusi Sultan dan para Wazir. Di berbagai tempat, industri pembuatan gelas dan penempaan logam menjadi bidang-bidang yang dimonopoli kaum Yahudi, dengan pengetahuan mereka dalam penguasaan bahasa asing, mereka merupakan kompetitor utama bagi para pedagang Venesia.

Hukum syariat menyatakan: “Non-Muslim dari kalangan Ahli Kitab memiliki hak yang sama dengan Muslim untuk apapun yang berasal dari Baitul Mal.” Maka, kaum miskin ahlu dzimmah pun berhak mendapatkan bantuan dari Baitul Mal (Kas Negara).

Kondisi ini jelas tidak sama dengan dunia Barat maupun Timur saat ini, yang membatasi imigran dalam hal perekonomian, bersikap rasis pada mereka, serta membuat aturan ketat yang mencegah masuknya kaum imigran. Negara Islam tidak menerapkan kebijakan macam itu. Siapapun yang ingin menjadi warga dari Negara Islam memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warganegara lainnya. Sultan Bayazid II menyikapi masalah pengusiran kaum Yahudi yang dilakukan oleh Ferdinand, Raja Katolik Spanyol, dengan mengeluarkan pernyataan, “Bagaimana mungkin Ferdinand dapat disebut ‘bijak’, dia telah memiskinkan wilayah kekuasaannya guna memperkaya dirinya.” Sultan kemudian menerima pengungsi Yahudi dengan tangan terbuka. Sama halnya dengan diterimanya kaum Yahudi di Turki setelah Konstantinopel dibebaskan oleh Islam di bawah Muhammad Sang Penakluk (Muhammad al-Fatih)

Non-Muslim Tidak Berhak Memegang Posisi Pengambil Kebijakan

Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (TQS. an-Nisa [4]: 141)

Ayat ini mengekspresikan larangan bagi non-Muslim (orang kafir) untuk memegang pos-pos kekuasaan atas umat Islam. Selain itu, kaum non Muslim tidak berhak berpartisipasi dalam pemilihan Khalifah.

Majelis Umat

Siapapun yang memiliki kewarganegaraan, bila ia dewasa dan berakal sehat, memiliki hak untuk menjadi anggota Majelis Umat. Dalam hal ini, dia memiliki hak untuk memilih anggota-anggota Majelis, baik perempuan maupun lelaki, baik Muslim maupun non Muslim.

Kaum non Muslim berhak menjadi anggota Majelis Umat, untuk menampung aspirasi kalangan mereka terhadap perlakuan hukum oleh penguasa pada diri mereka, atau untuk mengoreksi kesalahan implementasi hukum Islam atas diri mereka. Diriwayatkan bahwa Abu Bakar ra. berbincang dengan seorang Yahudi bernama Finhas yang diajaknya untuk masuk Islam. Finhas kemudian menjawab, “Demi Allah Abu Bakar, kita tidak memerlukan Allah sebagaimana Ia membutuhkan kita, dan kita tak perlu meminta bantuan-Nya sebagaimana Ia meminta bantuan pada kita. Kita tidak memerlukan-Nya, sementara Dia memerlukan kita. Bila Dia benar-benar Maha Kaya, Dia tak akan meminta pinjaman uang pada kita sebagaimana yang dikatakan oleh temanmu. Dia (Rasulullah saw) melarangmu melakukan riba, namun membolehkan kami (Yahudi) melakukannya, dan bila Dia benar-benar Maha Kaya, Dia tak akan membolehkan kami melakukannya.” Dalam hal ini, Finhas mengomentari firman Allah:

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki), dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan. (TQS. al-Baqarah [2]: 245)

Abu Bakar tidak terima dengan pelecehan tersebut. Ia memukul wajah Finhas dengan keras sambil berkata, “Demi Allah, bila tidak ada ikatan perjanjian antara engkau dan kami (umat Islam), aku akan membunuhmu, engkau adalah musuh Allah!” Finhas kemudian pergi dan mengadukan pemukulan yang dilakukan Abu Bakar kepada Nabi saw. Nabi saw mendengarkan pengaduannya, lalu menanyai Abu Bakar tentang insiden tersebut. Abu Bakar menceritakan pada Nabi saw tentang apa yang terjadi, namun Finhas kemudian membantah bahwa dia telah melakukan pelecehan. Segera setelah itu, Allah Swt menurunkan wahyu:

Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan orang-orang yang mengatakan; ‘Sesungguhnya Allah miskin dan kami kaya’. Kami akan mencatat perkataan mereka itu dan perbuatan mereka membunuh Nabi-nabi tanpa alasan yang benar, dan Kami akan mengatakan (kepada mereka); ‘Rasakanlah olehmu azab yang membakar’. (TQS. Ali Imran [3]: 181)

Abu Bakar adalah salah seorang pembantu Rasulullah saw pada saat insiden tersebut terjadi, dan Finhas adalah seorang dzimmi. Rasulullah saw mendengarkan pengaduan Finhas atas Abu Bakar, sekalipun yang diadukannya adalah dusta. Karena itu, bila pengaduan diajukan oleh seseorang yang terikat perjanjian dengan negara, maka pengaduan tersebut perlu didengarkan, karena dia terikat perjanjian sebagai ahlu dzimmah.

Namun, non-Muslim tidak berhak menyuarakan opini mereka atas hal-hal yang berkenaan dengan hukum, karena hukum Islam merupakan turunan dari akidah Islam. Kaum non-Muslim meyakini doktrin yang asing dan bertentangan dengan akidah Islam. Karena itu, opini mereka tidak dibutuhkan dalam masalah hukum.

Anggota Majelis dari kalangan non-Muslim tidak memiliki hak untuk mengkaji pengadopsian yang dilakukan Khalifah dalam hal hukum dan peraturan Islam, karena mereka tidak mengimani ajaran Islam. Hak mereka hanyalah untuk menyuarakan opini mereka atas ketidakadilan penguasa terhadap mereka, bukan dalam mengekspresikan opini atas hukum dan peraturan Islam.

T.W. Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam, menyatakan: “Kala Konstantinopel kemudian dibuka oleh keadilan Islam pada 1453, Sultan Muhammad II menyatakan dirinya sebagai pelindung Gereja Yunani. Penindasan pada kaum Kristen dilarang keras, dan untuk itu dikeluarkan sebuah Dekrit yang memerintahkan penjagaan keamanan pada Uskup Agung yang baru terpilih, Gennadios, beserta seluruh uskup dan para penerusnya. Hal yang tak pernah didapatkan dari penguasa sebelumnya. Gennadios diberi staf keuskupan oleh Sultan sendiri. Sang Uskup juga berhak meminta perhatian pemerintah dan keputusan Sultan untuk menyikapi para gubernur yang tidak adil.”

Militer

Perlindungan pada ahlu dzimmah merupakan kewajiban bagi seluruh umat Islam. Ahlu Dzimmah tidak diwajibkan bergabung dalam kemiliteran dan berperang untuk membela Negara Islam.

Ibnu Hazm menyatakan, “Salah satu hak yang dimiliki oleh ahlu dzimmah adalah bilamana Negara Islam diserang dan mereka tinggal di wilayah Islam, maka umat Islam wajib melindungi mereka mati-matian. Dalam hal ini, perlakuan lemah lembut adalah hak para ahlu dzimmah.”

Namun bila mereka mau, mereka dapat menjadi bagian dari tentara Islam dan berhak mendapat gaji atas kerja mereka. Namun mereka tidak diizinkan untuk memegang posisi pemimpin pasukan dalam kemiliteran.

Pegawai Negeri Sipil

Siapa pun yang memiliki kewarganegaraan dan memiliki kemampuan, lelaki ataupun perempuan, Muslim ataupun non-Muslim, dapat dipilih sebagai direktur atau pegawai departemen administratif. Ini diambil dari aturan tentang pekerja (ijarah), yang membolehkan mempekerjakan orang, terlepas dari apa pun agamanya. Riwayat-riwayat tentang pengupahan tidak mengatur kelompok-kelompok tertentu secara spesifik:

Rasulullah saw sendiri pernah mempekerjakan seorang lelaki non-Muslim dari Bani ad-Dail. Ini menunjukkan bahwa mempekerjakan seorang non-Muslim diperbolehkan, sebagaimana mempekerjakan seorang Muslim.

Kebijakan Luar Negeri

Kebijakan luar negeri Negara Islam adalah mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Metode yang ditempuh adalah melakukan jihad pada negara lain. Tujuannya adalah untuk melenyapkan penghalang yang merintangi penerapan aturan Islam dan menunjukkan pesan Islam pada seluruh rakyatnya.

Motivasi penaklukkan negeri-negeri lain semata-mata digerakkan oleh keinginan untuk mencari keridlaan Allah Swt. Penaklukkan tidak boleh dilakukan demi perolehan materi. Karena itu, bila Negara Islam menaklukkan negara lainnya, Negara Islam tidak akan menindas rakyatnya dengan mencuri kekayaan alamnya.

Dalam bukunya, al-Kharaj, Abu Yusuf (yang kepala Qadli di masa pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasyid) memberikan laporan sebagai berikut: “Setelah ditandatanganinya perjanjian dengan rakyat Suriah dan mengumpulkan jizyah dan kharaj, Abu Ubaidah menerima berita bahwa pasukan Byzantium telah menyiapkan pasukan untuk menyerang. Berita ini memberikan efek yang dahsyat pada Abu Ubaidah dan umat Islam. Dia mengirimkan pesan pada para penguasa kota-kota yang telah membuat perjanjian, meminta mereka mengembalikan pembayaran jizyah dan kharaj, dengan satu perintah pada mereka, ‘Kami kembalikan pada kalian uang kalian yang telah dibayarkan pada kami, karena adanya berita yang menyebutkan pasukan musuh hendak menyerang kami, namun, bila Allah memberikan kemenangan pada kami atas musuh, kami akan menaati janji kami dengan mereka yang terikat perjanjian dengan kami.’ Ketika hal ini disampaikan pada kaum ahlu dzimmah dan uang mereka dikembalikan, mereka berkata pada umat Islam, “Semoga Tuhan mengembalikan kalian pada kami, dan memberikan kemenangan pada kalian atas mereka!”

Wilayah-wilayah yang Tak Boleh Ditempati Non-Muslim

Non-Muslim tidak diperbolehkan tinggal di Jazirah Arab, karena Umar meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Aku akan mengusir kaum Yahudi dan Kristen dari Semenanjung Arabia, dan tidak boleh ada yang tinggal di sini kecuali umat Islam” (HR. Muslim)

Yahya meriwayatkan padaku dari Malik dari Ibnu Shihab, bahwa Rasulullah saw bersabda, ‘Tidak boleh ada dua agama di Jazirah Arab.’ (al-Muwaththa). Selain itu, Yahudi tidak boleh tinggal di al-Quds, karena Ijma para sahabat ketika penandatanganan perjanjian antara Umar bin Khaththab dengan umat Kristen Iliya (al-Quds) saat dia menyatakan, “Tak seorang Yahudi pun boleh tinggal di Iliya.”

Integrasi Kaum Non-Muslim ke dalam Khilafah

Atas dasar hal ini, jelas bahwa kaum non-Muslim dapat terintegrasikan dengan baik dalam masyarakat Islam. Agama-agama Yahudi, Kristen, dan lainnya hanya memiliki aturan yang membahas masalah manusia dengan Tuhan dan manusia dengan dirinya sendiri. Dalam dua jenis hubungan tersebut, hukum Islam memungkinkan non-Muslim untuk mengikuti keyakinan mereka sendiri; maka, tak ada konflik dengan non-Muslim.

Dalam hubungan sesama manusia, misalnya dalam hubungan kemayarakatan, kaum non-Muslim tidak memiliki aturan yang mengatur masalah ini. Karena itu, mereka harus mengadopsi sebuah sistem untuk kehidupan mereka di tengah-tengah masyarakat. Sistem Islam, bilamana diterapkan, sejauh ini merupakan sistem yang paling berhasil dalam mengintegrasikan non-Muslim ke dalam masyarakat Islam. Berbagai pemberontakan dan perpecahan yang dilakukan kaum non-Muslim yang hidup di Negara Islam pada zaman dahulu, seperti kaum Kristen di Yunani dan Libanon, terjadi karena adanya campur tangan Inggris dan Perancis yang mendukung pemberontakan tersebut sebagai salah satu upaya menghancurkan Negara Khilafah.

Dengan melakukan kajian atas peraturan Islam terhadap kaum non-Muslim, kita dapat melihat bahwa Negara Khilafah bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti oleh kaum non-Muslim. Khilafah adalah sebuah negara yang akan membawa mereka keluar dari kegelapan dan penindasan sistem kapitalis, menuju cahaya dan keadilan Islam. Perlakuan Khilafah pada kaum non-Muslim semacam inilah yang kemudian membuat banyak orang memeluk agama Islam. Jumlah orang yang pindah agama sangat besar sekali hingga akhirnya seluruh suku di Jazirah Arab memeluk Islam. Para penguasa negara pada masa lalu pun banyak yang menulis surat kepada Khalifah agar menerapkan Islam atas mereka. Inilah sebabnya mengapa orang Kristen Ashsham berperang di sisi umat Islam dalam menghadapi serangan Tentara Salib Eropa yang hendak menyerang negara mereka. Di India pada 1920, bahkan banyak umat Hindu yang bergabung dengan gerakan Khilafah yang mencoba mengembalikan tegaknya Negara Khilafah!

Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat. (TQS. an-Nashr [110]: 1-3)

Post a Comment for "Kehidupan Umat Non-Muslim di dalam Wilayah Islam"