Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Penerapan Dalil Fiqhiyah Tentang Pemberian Vaksin

Penerapan Dalil Fiqhiyah Tentang Pemberian Vaksin


Vaksinasi adalah pemberian vaksin dalam rangka imunisasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), imunisasi sendiri diartikan sebagai bentuk “pengebalan” (terhadap penyakit). Dalam istilah kesehatan, imunisasi diartikan pemberian vaksin untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu. Biasanya imunisasi bisa diberikan dengan cara suntikan atau tetesan pada mulut balita (anak di bawah lima tahun). Vaksin adalah bibit penyakit (seperti polio, cacar dan lainnya) yang sudah dilemahkan (dinonaktifkan) yang digunakan dalam vaksinasi. Vaksin membantu tubuh untuk menghasilkan antibodi. Antibodi inilah yang berfungsi melindungi tubuh terhadap penyakit.

Dari definisi di atas, maka hukum asal vaksinasi atau imunisasi adalah boleh dan tidak terlarang. Hal ini karena ia termasuk penjagaan diri dari penyakit sebelum terjadi.

Untuk diketahui bahwa pemerintah kita saat ini sedang terus berupaya melakukan pembasmian penyakit Campak dan Rubella dengan cara injeksi sesuai dengan Surat Edaran Nomor Hk.02.02/I/L170/2017 Tentang Dukungan Pelaksanaan Kampanye Dan Introduksi Imuniasi Measles Rubella (Mr) Tahun 2017 Dan 2018

Akan tetapi, dalam perjalanannya pemberian vaksin ini mendapat reaksi berbeda ditengah masyarakat dikarenakan belum mendapat sertifikasi halal dari MUI. Pun ketika MUI mengeluarkan Fatwa lagi-lagi gelombang penolakan yang lebih besar justeru malah terjadi, pasalnya MUI mengeluarkan dua fatwa yang dianggap kontroversial dengan mengharamkan penggunaan bahan yang sumbernya babi dan disusul fatwa yang memperbolehkan dengan alasan darurat.

Dan untuk bisa memahami tentang status hukum vaksinasi ini, dipandang perlu untuk dikemukakan beberapa masalah dan kaidah berikut, yang nantinya diharapkan sebagai kerangka berfikir kita guna menentukan setuju atau tidaknya pemberian vaksin pada anak ataupun saudara kita. Diantara kaidah tersebut antara lain :

1. Hukum Berobat Dengan Sesuatu yang Haram.

Masalah ini terbagi menjadi dua bagian.

Pertama, berobat dengan khamr adalah haram. Dalilnya, “Sesungguhnya khomr itu bukanlah obat melainkan penyakit” (HR. Muslim). Hadits ini merupakan dalil yang jelas tentang haramnya khamr dijadikan sebagai obat (Syarh Shahih Muslim : 13/153). Jadi berobat dengan yang haram hukumnya haram kesepakatan ulama’.

Kedua, berobat dengan benda haram selain khamr. Dalam masalah ini terjadi perselisihan dikalangan ulama. Namun, pendapat yang kuat –insyaAllah- adalah bahwasanya pada asalnya tidak boleh berobat dengan benda-benda haram kecuali dalam kondisi darurat, yaitu apabila penyakit dan obatnya memenuhi kriteria sebagai berikut : (1) penyakit tersebut penyakit yang harus diobati; (2) benar-benar yakin bahwa obat ini sangat bermanfaat pada penyakit tersebut (3) tidak ada pengganti lainnya yang

2. Istihalah.

Istihalah adalah berubahnya suatu benda yang najis atau haram menjadi benda lain yang berbeda nama dan sifatnya. Contoh : khamr berubah menjadi cuka. Hal ini berdasarkan ijma’ (kesepakatan) ulama bahwa khamr apabila berubah menjadi cuka maka menjadi suci.

3. Istihlak.

Istihlak adalah bercampurnya benda haram atau najis dengan benda lainnya yang suci dan halal yang kadarnya lebih banyak sehingga menghilangkan sifat najis dan keharamannya, baik rasa, warna dan baunya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi :

“Air itu suci, tidak ada yang menajiskannya sesuatu pun”

“Apabila air telah mencapai dua qullah maka tidak najis”

Dua hadits ini menunjukkan bahwa benda yang najis atau haram apabila bercampur dengan air suci yang banyak, sehingga najis tersebut lebur tak menyisakan warna atau baunya maka dia menjadi suci.

Contoh: seseorang yang meminum khamr yang bercampur dengan air yang banyak sehingga sifat khamr-nya hilang maka dia tidak dihukumi minum khamr.

4. Al Dharuratu Tubiihul Mahzuurooh (Darurat itu membolehkan suatu yang dilarang)

Darurat adalah keadaan dimana orang atau sekelompok orang (masyarakat,bangsa/negara) harus melanggar hukum haram, yaitu ketika seseorang atau sekelompok orang tersebut memilki keyakinan bahwa apabila tidak menerjang larangan tersebut niscaya akan binasa atau mendapatkan bahaya besar pada badanya, hartanya atau kehormatannya. Namun kaidah ini harus memenuhi dua persyaratan, yaitu (1) tidak ada pengganti lainya yang boleh (mubah/halal) dan (2) mencukupkan sekadar untuk kebutuhan saja.

Kesimpulan

kesimpulan yang bisa kita petik terkait vaksinasi ini adalah bahwa vakisinasi atau imunisasi hukumnya boleh dalam syariat, dengan alasan-alasan sebagai berikut :

1. Imunisasi ini sangat dibutuhkan sebagaimana penelitian ilmu kedokteran.
2. Penggunaan Bahan haram diperbolehkan selama belum ditemukan pengganti lainnya yang mubah.

3.Bahan yang ada telah lebur dengan bahan-bahan lainnya.
4. Hal ini termasuk dalam kondisi darurat.

Post a Comment for "Penerapan Dalil Fiqhiyah Tentang Pemberian Vaksin"